Sebuah Cerita Pendek Bertemakan Cinta Tetapi di Dalamnya Juga Mengajarkan Keikhlasan.
Namaku Lista aku adalah anak perempuan pertama dari keluargaku dan memiliki adik laki-laki. Aku punya banyak keinginan didunia ini salah satunya adalah membahagiakan orang tuaku. Aku memenangkan salah satu lomba menyanyi tingkat nasional dan bagiku hal tersebut telah membuat bangga orang tuaku, terlihat sangat jelas mereka tersenyum lebar menyaksikan kesuksesanku. Aku jatuh cinta untuk yang pertama kalinya dengan lelaki tampan ia bernama Raka. Dia adalah laki-laki yang baik dan bertanggung jawab kepada keluarganya.
"Lista kita jalan-jalan yuk"
"Kemana Ka?"
"Ya, terserah kamu aku ikut"
Saat itu aku dan Raka memutuskan pergi ke suatu tempat, tempat itu sangat ramai dihiasi permainan,ada mandi bola ada juga biang lala. Pasti kalian sudah tahu kan tempat apa yang kumaksud. Tempat tersebut adalah pasar malam. Disana aku dan Raka menghabiskan waktu berdua seakan dunia hanya kita yang punya.
"Kamu mau es Lis?"
"Mau, rasa coklat"
Anggapan bahwa dunia milik berdua itu semakin terasa nyata saat kita berdua menikmati ice cream dengan gaya kita, Raka mengelap cemong bibirku karena ice cream ku yang belepotan sedangkan aku tersenyum kepada Raka seraya membalas perlakuan manisnya itu. Tidak terasa tiba-tiba langit sudah berwarna semakin gelap, sudah pukul 21.00 wib rupanya.
"Ayo pulang udah malam" ajak Raka
"Kok pulang sih" kataku, yang terlalu menikmati malam ini
"Lista, ini udah malam aku ngajak kamu sedangkan kita belum ada ikatan sah nanti apa kata orang dan pasti orang tuamu nyariin aku gak bermaksud apa-apa kok. Bukan aku gak mau lama-lama sama kamu, sebenarnya aku mau banget tapi aku lebih mentingin harga dirimu daripada ego ku"
Kata Raka dengan nada tegasnya meyakinkanku, matanya yang memandangiku dengan penuh kasih sayang dan perhatian membuatku semakin bahagia dan membuatku merasa menjadi wanita paling beruntung didunia ini.
"Yaudah deh ayo pulang"
Raka mengantarku menggunakan motor bebeknya yang juga menjadi saksi cinta kita selama ini. Setelah sampai rumah aku bergegas masuk ke dalam kamar karena tidak mau kalau nanti ayah tanya yang aneh-aneh tentang Raka yang mengantarkanku tadi.
"Malam ini benar-benar indah" gumamku dalam hati sembari senyum-senyum tidak jelas sendirian.
"Ada apa nak kok senyum-senyum sendiri?"
"Hmm gapapa yah hehe"
Tiba-tiba ayah masuk dan menanyakan itu, aku hanya bisa menjawab dengan raut tersipu malu sembari melihat ayah yang juga memandangiku. Aku mencintaimu, entah bagaimana kamu itu urusanmu. Aku yakin kau lah yang dikirimkan Tuhan untukku.
Seperti aku titipkan hatiku padanya dan ia titipkan hatinya kepadaku saja, hubungan kami semakin harmonis hingga pada suatu pagi yang sejuk Raka datang ke rumahku
"Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" jawabku
"Lista, aku ingin berbicara hal yang penting"
"Bicara saja, ada apa?"
"Begini, jadi sepertinya hatiku dan hatimu sudah bertemu. Maukah kamu menikah denganku?"
kata Raka, dengan tegas menyampaikan itu. Aku sempat tertegun sebentar.
"Ha? Secepat itu?"
"Iya karena mama ingin segera memiliki cucu dan ku rasa aku juga telah siap menikah dan berumah tangga"
"Maaf Raka bukan bermaksud menolak tetapi aku belum siap, sebab menikah itu bukan hal main-main ada dua kepala yang berisi dua pemikiran yang disatukan, ada dua keluarga yang dibersamakan, ada dua ego yang rela halus dipertemukan. Hanya saja aku belum siap membersamaimu. Aku minta maaf"
Saat itu ku lihat jelas sekali tatapan kecewa Raka yang ditunjukkan kepadaku. Aku tahu pasti hatinya patah saat aku mengatakan itu.
"Ya, tidak apa-apa Lis, aku pulang dulu"
tanpa banyak bicara Raka dengan perasaan kecewanya langsung berpamitan pulang.
Aku masuk ke dalam rumah. Duduk melamun dan mengingat betapa raut wajah Raka tadi adalah bagian dari penolakanku.
Wajah lelaki yang kucintai dihiasi rasa kecewa karenaku. Tapi apa boleh buat, aku belum siap membersamainya.
Aku mencintainya tetapi untuk menikah denganya saat ini belum fikirku.
Sudah beberapa hari setelah kejadian itu rupanya Raka tak pernah sedikitpun mengabariku bahkan untuk mengirimiku pesan singkat saja tidak pernah apalagi bertanya bagaimana keadaanku.
Aku juga sakit waktu itu, seperti sakit tapi tak berdarah melihat lelaki yang kucintai teluka karena aku.
"Lis"
bunyi telfonku berisi pesan singkat dari Andre teman Raka yang juga temanku
"Iya Ndre?"
"Kamu sudah tidak bersama Raka"
Tiba-tiba saja tanpa ada angin tanpa ada badai Andre menanyakan hal itu, aku sempat bingung bagaimana menjawabnya dan memulai menceritakan hal itu mulai dari mana. Kemudian ku ceritakan pelan-pelan.
"Jadi Ndre, sebenarnya Raka ingin mengajak aku menikah tetapi aku belum siap karena bagiku menikah itu bukan hal main-main aku tidak ingin salah saja dikemudian hari"
Kataku menjawab pesan Andre lengkap dengan emoji berlinang air mata rasanya belum cukup menggambarkan betapa merasa bersalahnya aku, tetapi saat itu aku juga merasa bingung apa yang harus aku lakukan.
"Ow begitu ya Lis, ya aku tahu memang kadang kita perlu memantapkan hati untuk mengambil suatu keputusan agar tidak salah jalan" balas Antre waktu itu
Suatu pagi dibulan Juli, ada yang datang kerumah mengetuk pintu membawa kertas rupanya seperti undangan dan kotak yang tak tahu entah apa isi kotak itu.
"Apa benar ini rumah mbak Lista?"
"Iya benar mas kenapa ya?"
"Ini mbak ada undangan sekaligus seragam nanti pas acara pernikahan"
Aku sempat bingung, siapa yang menikah sanak saudaraku pun tidak ada yang menikah bulan ini, kalaupun ada pasti aku dikabari.
"Ya sudah mbak, terimakasih saya permisi"
"Baik, mas terimakasih juga"
Aku masuk ke dalam rumah, sembari ku pegangi kotak yang katanya berisi seragam itu ku buka undangan itu pelan-pelan. Ternyata saat ku buka nama Raka tertera jelas saat itu dengan tinta hitam disandingkan dengan nama seorang wanita yang pasti itu adalah calon istrinya.
Sempat ku ulangi beberapa kali ku pastikan benarkah itu Raka, laki-laki yang ku cintai dan sekarang ia mengirimiku undangan seakan meminta izin kepadaku untuk membersamai wanita lain. Ya, benar itu Raka. Rakaku.
Masih dibulan Juli aku menghadiri pernikahan lelaki yang kucintai itu, melihatnya berdampingan dengan wanita lain, busana abu-abu dengan adat sunda itu terlihat begitu menggetarkan hati. Aku sempat ingin menangis sempat saja. Tetapi ku berusaha membendung air mataku hanya agar demi terlihat bahwa aku baik-baik saja. Siapapun bisa ku bohongi dengan senyumanku tetapi hatiku tidak bisa dibohongi. Tapi ya sudah karena seharusnya itu aku yang membersamainya tetapi aku belum siap.
Aku berjalan melenggang dengan senyum simpul di bibirku entah bagaimana orang-orang mengartikan senyuman itu, biar saja.
Ku salami lelaki yang sempat bersamaku itu, ku ucapkan selamat tetapi hatiku mengatakan aku sakit saat itu, kemudian ku salami juga istrinya yang berdampingan denganya waktu itu. Tangan ibu sembari menggandengku mengisyaratkan bahwa aku harus kuat, ya aku kuat saat itu meski aku harus membendung air mataku sendiri. Tak mengapa ia bukan Rakaku lagi.
Terimakasih Raka, lelaki yang sempat membuatku merasakan jatuh dan cinta, yang sempat membuatku tersenyum tanpa alasan, yang sempat mewarnai hari-hariku tapi hari ini dia bukan Rakaku sekali lagi ku tegaskan dalam hati dan diriku dia bukan Rakaku. Ku ikhlaskan kamu meski berat, ku iring bahagiamu dengan senyuman.
Terimakasih untuk kisah yang tidak akan pernah ku lupakan dalam sejarah perjalanan cintaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar